PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA TERNAK
Oleh :
RIANA PRATISIA
13.1000.5311.031
PROGRAM
STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
TAMAN SISWA PADANG
TAHUN
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah Penyakit Brucellosis Pada Ternak sebagai salah satu tugas mata kuliah Kesehatan Ternak yang diberikan oleh
dosen pada semester 5 Tujuan membuat makalah ini adalah untuk mengetahui
penyakit brucellosis pada ternak.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Makalah Kesehatan Ternak ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis berharap semoga Allah memberikan
imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat
menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Padang, Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Brucellosis
merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari segi
kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus
brucellosis sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain
itu, seringnya mutasi sapi perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya
kasus brucellosis di Indonesia. Oleh sebab itu , penyakit brucellosis
dimasukkan dalam daftar 5 penyakit menular yang menjadi prioritas utama dalam
pengendalian dan pemberantasannya secara nasional sejak tahun 1959 (Peraturan
Direktur Jenderal Peternakan No. 59/KPTS/PD610/05/2007).
Brucellosis
adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella.
Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia,
menimbulkan kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya
produksi susu pada sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam
sehingga dikenal juga sebagai Undulant fever, Malta fever, Gibraltar
fever, atau Mediteranean fever, dimana ketiga sebutan terakhir
merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh konsumsi susu kambing di
daerah Laut Tengah.
Brucellosis
dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di seluruh dunia
terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia
Selatan dan Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit
brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di
Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan bakteri Brucella abortus
berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah bersifat endemis
di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan
sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Brucellosis
tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Pulau Bali sampai saat ini masih terbebas karena adanya larangan memasukkan
sapi jenis lain, berkaitan kebijaksanaan pemerintah untuk memurnikan sapi Bali.
Penyakit
Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional
baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak. Dengan
infeksi yang tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan
meningkatnya populasi dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab
utama meningkatnya kasus brucellosis.
Brucellosis dikategorikan sebagai
penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella mempunyai hewan target sebagai
reservoir, yaitu Brucella abortus
pada sapi, B. ovis pada domba, B.
melitensis pada kambing, B. suis pada
babi, B. neotomae dan B. canis pada anjing. Brucellosis pada
hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada hewan
bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada
kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9.
Jika tidak terjadi abortus, kuman
Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan fetus dan leleran vagina.
Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan
mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara
persisten seumur hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah,
urin, susu dan semen. Pada manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B.
canis. Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang
menginfeksi. Penularan brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang
terinfeksi atau melalui konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita
brucellosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Brucellosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang termasuk dalam genus Brucella. Penyakit ini dapat
mengakibatkan kerugian yang sangat besar, dan di Indonesia penyakit tersebut
pada sapi dimasukkan dalam daftar penyakit menular yang harus dicegah dan
diberantas sejak tahun 1959 Pencegahan
Brucellosis pada sapi didasarkan pada
tindakan higiene dan sanitasi, vaksin
anak sapi umur 3-6 bulan dengan vaksin Brucella
Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang tertular
sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya, kemudian fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur
atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4%
larutan kresol atau desinfeksi sejenis. Metode pengendalian lainnya uji
serologik secara teratur dengan MRT, RBT, dan CFT. Pada umumnya prinsip
pengendalian Brucellosis adalah
metode test and slaughter (uji dan
potong) menjadi cara terakhir dalam program pemberantasan (Subronto,
2003).
Penyebab Brucellosis pada sapi perah disebabkan
oleh bakteri Brucella abortus. Manusia
yang terinfeksi umumnya disebabkan minum susu sapi penderita yang tidak dimasak
sempurna, menangani saat sapi melahirkan, mengambil plasenta yang tertinggal,
cairan vagina, dan kulit yang luka. Adanya kerugian ekonomi akibat Brucellosis disebabkan oleh penurunan
permintaan pasar, penurunan produksi susu, kehilangan foetus, timbulnya
kemajiran, pedet yang lemah, timbulnya penyakit pada manusia, dan biaya
pengendalian dan pemberantasan penyakit (Hardjopranjoto, 1995).
Penularan brucellosis dapat terjadi
dari pejantan yang terinfeksi brucellosis kepada induk betina melalui kawin
alami atau juga dapat melalui proses inseminasi buatan dilakukan lewat intra
uterin dengan sperma yang mengandung brucellosis. Selain itu, penularan terjadi
melalui kontak langsung dengan lingkungan yang tercemar seperti kandang,
peralatan, air, dan rumput. Penularan penyakit brucellosis juga dapat terjadi
melalui susu induk terinfeksi yang diminum oleh pedet sapi, namun tingkat
kejadian penyakit melalui susu tersebut masih sangat kecil sekali. Hampir semua
hewan peka terhadap brucellosis. Meskipun tidak ada induk semang spesifik pada
penyakit ini, namun masing-masing spesies bakteri memiliki kecenderungan untuk
menginfeksi satu induk semang tertentu, misalnya Brucella abortus menyerang
sapi, Br. melitensis pada kambing, biri-biri, dan kuda, Br. suis
pada babi dan Br. canis pada anjing, akan tetapi tidak hilang
kemungkinan bahwa anjing dapat terserang Br. abortus, Br. suis
atau Br. melitensis dan begitu juga dengan hewan-hewan lain (Soejoedono 2004).
Pada manusia, penularan terjadi
karena memakan atau meminum bahan yang terkontaminasi bakteri Brucella
atau kontak langsung dengan plasenta, fetus, cairan atau organ reproduksi sapi
melalui luka di kulit. Orang-orang yang berprofesi tertentu seperti dokter
hewan, inseminator, mantri hewan, petugas rumah pemotongan hewan, pemerah susu
dan petugas laboratorium beresiko tinggi tertular brucellosis. Infeksi B. canis terbatas terjadi pada pekerja yang
merawat anjing (WHO 2006).
Permulaan infeksi Brucellosis terjadi pada kelenjar limfe
supramamaria. Pada uterus, lesi
pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon
kemudian terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak terdapat pada vili khorion, karena terjadi
penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak menyebabkan kematian fetus dan
abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi placenta disamping adanya endotoksin.
Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian.
Selaput fetus menderita oedematous dengan
lesi dan nekrosa (Murpraptomo, 1995).
Penularan Brucellosis ini paling banyak melalui
pakan yang tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang
terinfeksi. Penularan bakteri Brucela
abortus ini melalui jilatan dari sapi, selain itu bakteri tersebut dapat
memasuki tubuh melalui gesekan kulit yang luka. Penularan dari pejantan yang
terinfeksi Brucellosis pada induk
betina dapat terjadi melalui kawin alami atau Inseminasi Buatan dilakukan lewat
intra uterin dengan sperma yang mengandung Brucella abortus. Penularan penyakit Brucellosis pada pedet juga dapat
terjadi melalui susu induk yang diminum oleh pedet sapi. Penularan kepada
manusia dapat terjadi melalui saluran pencernaan, misal minum susu yang tidak
dimasak yang berasal dari ternak penderita Brucellosis.
Penularan melalui selaput lendir atau kulit yang luka, misal kontak langsung
dengan janin atau placenta (ari-ari)
dari sapi penderita Brucellosis dapat
juga menyebabkan penularan Brucellosis
pada manusia (Budiharjo, 2009).
Brucella adalah bakteri
intraselluler, karena itu terlindung dari daya pertahanan tubuh sapi dan
aktivitas antibiotika. Pada hakekatnya tidak ada obat yang baik untuk
pengobatan Brucellosis, apabila
penyakitnya sudah kronis. Disamping itu pengobatan penyakit Brucellosis yang sudah kronis
membutuhkan waktu lama dan dosis besar. Oleh karena itu pengobatan ini
dipandang tidak ekonomis. Pencegahan penyakit lebih diutamakan dari pada
pengobatan. Pengobatan yang efektif dapat dilakukan dengan antibiotika seperti
kombinasi penisilin dan streptomisin (Sutjipto, 1995).
BAB III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Penyakit Brucellosis.
Penyakit
infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.
Secara morfologi, kuman Brucella bersifat Gram negatif, tidak berspora,
berbentuk cocobasillus (batang pendek) dengan panjang 0,6 - 1,5 μm, tidak
berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Dalam media
biakan, koloni kuman Brucella berbentuk seperti setetes madu bulat, halus,
permukaannya cembung dan licin, mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter
1-2 mm. Pada pengecatan Gram, kuman terlihat sendiri-sendiri (tidak berkoloni),
berpasangan atau membentuk rantai pendek.
Secara
biokimia, kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak
membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan
temperatur 20-40°C dengan penambahan karbondioksida (C02) 5-10%.
Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai
kondisi lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman
Brucella pada tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah
yang lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah becek bertahan
hidup selama 151-185 hari. Kuman Brucella juga dapat bertahan hidup selama 2
hari dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relative
tinggi . Pada air minum ternak, kuman dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan
pada air limbah selama 30 - 150 hari.
Klasifikasi kuman Brucella :
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Alphaproteobacteria
Ordo :
Rhizobiales
Famili : Brucellaceae
Genus : Brucella
Spesies : Brucella Abortus, brucella melitensis, brucella canis
Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri genus Brucella. Brucellosis di Indonesia dikenal sebagai penyakit
reproduksi menular pada ternak, tetapi sebagai penyakit menular pada manusia,
penyakit ini belum banyak dikenal di masyarakat. Hewan yang terinfeksi kuman
Brucella dapat mengalami abortus, retensi plasenta, orchitis dan epididinitis
serta dapat mengekskresikan kuman ke dalam uterus dan susu. Penularan penyakit
ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak
dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka. Berat ringan
penyakit tergantung strain Brucella yang menginfeksi. Brucella abortus, B.
melitensis, B. suis dan B. canis adalah strain yang patogen ke manusia. Gejala
klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah,
arthralgia, myalgia dan turunnya berat badan. Komplikasi penyakit dapat terjadi
berupa arthritis, endokarditis, hepatitis granulona, meningitis, orchitis dan
osteomyelitis serta dilaporkan dapat pula mengakibatkan abortus pada wanita
hamil. Diagnosis brucellosis dilakukan dengan isolasi brucella spesies dalam
darah dan urin serta uji serologis. Pengobatan antibiotika dapat diberikan pada
orang yang terinfeksi tetapi memerlukan waktu lama. Kontrol brucellosis pada
manusia dapat dilakukan dengan pengendalian brucellosis pada hewan melalui
program eradikasi yang komprehensif berupa program vaksinasi yang diikuti
dengan eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis.
B.
Gejala yang Muncul pada Penyakit Brucellosis.
Gejala
klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau dimasyarakat dan
peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya terjadi pada umur
kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang
diaborsikan terlihat oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya eksudat kental serta
adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran dari vagina. Penyakit
brucellosis ini juga menyebabkan perubahan didalam ambing. Lebih dari setengah
dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya tinggi menunjukkan presentasi yang
tinggi didalam ambingnya. Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan
lesi higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk
sebagai regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang jernih atau
jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma akibat adanya suatu
trauma kemudian kuman brucella yang
berada didalam darah membentuk koloni di daerah persendian tersebut.
Pada
ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan
mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula
seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada
buah pelir dan kelenjar kelamin tambahan. Sehingga semen yang diambil dari
pejantan mungkin mengandung bakteri brucella
abortus.
C.
Penularan Brucellosis pada hewan ke
manusia
1.
Sapi
Gejala
klinik yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut
(7-8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada
kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami
keguguran tersebut masih membawa kuman Brucella
Abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami
higroma yaitu pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening atau
fibrinopurulen.
2.
Babi
Menimbulkan arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-kadang
ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis discus
intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi kuman Brucella suis tidak ditemukan pada semen
atau urine. Dibandingkan dengan sapi, kejadian abortus relatif jarang terjadi
pada babi.
3.
Anjing
Bakteri Brucella canis
merupakan penyebab utama sterilitas pada pejantan dan abortus pada induk,
terutama terjadi di kennel (pembiak) anjing di Amerika. Anjing yang menderita
brucellosis akut mengalami kebengkaan kelenjar limfe prefemuralis dan
submandibularis. Pada anjing jantan brucellosis menyebabkan orchitis
sehingga testis terlihat membengkak beberapa lama kemudian diikuti atropi,
testis terlihat mengecil karena sel pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan.
4.
Domba dan
Kuda
Terlihat adanya epididimitis, bursitis dan spondilitis.
5.
Manusia
Brucellosis bersifat zoonosis, jika bakteri ini
terjangkit pada manusia biasanya disebabkan oleh kontak langsung dengan
organ-organ alat genital atau cairan abortusan. Dan akan menimbulkan gejala
seperti demam, berkeringat, obstipasi, nyeri rematik, bengkak persendian dan
orchitis.
Table 1. Reservoar alami spesies
Brucella dan penyebaran penyakit secara
geografis pada manusia
Organisme
|
Hewan reservoar
|
Daerah penyebaran brucellosis
|
B. melitensis
|
Kambing, domba dan unta
|
Mediteranean, Asia dan Amerika Latin
|
B. abortus
|
Sapi, kerbau, unta dan yaks
|
Seluruh dunia, kecuali Jefiang, Israel dan beberapa negara
Eropa bebas
|
B. suis
|
Babi
|
Amerika Selatan, Asia Tenggara dan Amerika Serikat Barat
bagian Tengah
|
B. canis
|
Anjing
|
Kosmopolitan
|
Sumber: Lisgaris dan salata (2005)
Tabel 2 . Beberapa kejadian
brucellosis pada manusia di beberapa negara
Negara
|
Kasus Brucellosis
|
Sumber
|
Jepang
|
5 pekerja kebun binatang (2001)
|
ARON (1998)
|
Meksiko
|
6500 kasus (1998)
|
ARON (1998)
|
Saudi Arabia
|
73 kasus (1990)
|
GAAFAR (1998)
|
Saudi Arabia
|
1,3/1000 wanita hamil
|
YOUSUF KHAN (2001)
|
USA
|
100 kasus/tahun (10 tahun
terakhir)
|
JOHN dan NALIA (2002)
|
Kuwait
|
128 kasus/100.000 orang
|
BRUCELLOSIS FACT SHEET (2003)
|
India
|
59,7% anak/5726 anak (2004)
|
MANTUR et al . (2004)
|
Kashmir
|
0,8%/3532 orang
|
KADRI et al. (2000)
|
Yordan
|
20 - 26/100 .000 orang
|
AL-ANI et al. (2004)
|
California
|
462 kasus (1973 - 1992)
|
GOFFREY et al . (2002)
|
D. Pencehagan
dan Pengobatan Penyakit Brucellosis
Pencegahan
brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memperhatikan lalu
lintas ternak untuk daerah yang bebas. Pada sapi didasarkan pada tindakan
higiene dan sanitasi, vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta
penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan
dari kelompoknya. Fetus dan placenta yang abortusan harus dikubur atau dibakar
dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau
desinfektan sejenis. Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan
dengan vaksin Brucella Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati
karena dapat menyebabkan brucellosis atau demam unggulan pada manusia. Metode
pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak, uji
serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT dan
isolasi atau penyingkiran reaktor.
E.
Pengobatan.
Pengobatan brucellosis harus segera
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan relapsis. Pada hewan
penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup efektif. Namun pada pengobatan kasus
brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik yang diperlukan selama
beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di dalam sel. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin dan
rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan anak di
atas umur 8 tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin
selama 6 - 8 minggu, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan
rifampisin dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6 minggu.
Penderita brucellosis dengan spondilitis direkomendasikan antibiotika
doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin)
selama 2 - 3 minggu kemudian diikuti dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6
minggu.
Brucellosis
dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan pengobatan
dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta
penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan,
brucellosis dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih
agresif yaitu dengan kombinasi aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin
dan TMP-SMX selama 4 minggu diikuti sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis
antibiotika selama 8 - 12 minggu. Pada wanita hamil penderita brucellosis,
antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah kombinasi TMP-SMX. Percobaan
telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin adalah obat yang aman untuk
digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang menderita brucellosis.
F. Distribusi
Penyakit dan Reservoir
1.
Distribusi Penyakit
Penyakit ini tersebar di
seluruh dunia, terutama di negara Mediteran, Eropa, Afrika Timur, negara-negara
timur Tengah, India, Asia Tengah, Meksiko dan Amerika Selatan. Sumber infeksi
dan organisme, penyebab penyakit bervariasi tergantung letak geografis. Brucelosis
terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang
bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringannya, seperti petani,
dokter hewan dan pekerja di tempat pemotongan hewan. Penyakit ini banyak
menyerang laki-laki. Kasus-kasus sporadis dan KLB terjadi pada orang yang
mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (terutama keju lunak yang tidak
dipasturisasi) dari sapi, domba dan kambing. Kasus-kasus infeksi B. canis
terbatas terjadi pada pekerja yang merawat anjing. Penderita yang dilaporkan
terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia, penyakit
ini terkadang tidak diketahui dan tidak dilaporkan.
2.
Reservoir
Sapi, babi, kambing dan domba bertindak sebagai reservoir. Infeksi
bisa terjadi pada bison, rusa besar, karibu dan beberapa spesies dari rusa. B.
canis kadang-kadang menjadi masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian
kecil anjing peliharaan dan sebagian besar anjing liar terbukti mempunyai titer
antibody terhadap B. canis. Anjing hutan juga terbukti telah terinfeksi.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Brucellosis merupakan penyakit
zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia.
2. Penyakit infeksius Brucellosis
disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.
3. Penularan penyakit ke manusia
terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi atau
melalui membrana mukosa dan kulit yang luka.
4. Gejala klinis brucellosis pada
manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia, myalgia dan
turunnya berat badan.
5. Pada ternak pejantan penyakit
brucellosis dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan orkhitis dan
epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula.
6. Penyakit brucellosis di Indonesia
dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati,
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
7. Brucella mempunyai hewan target
sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus
pada sapi, B. ovis pada domba, B.
melitensis pada kambing, B. suis pada
babi, B. neotomae dan B. canis pada anjing.
B.
Saran
1. Sebaiknya bila meminum susu, memakan
daging pastikan susu yang akan diminum sudah di pasterurisasi dan daging yang
terbebas dari virus brucellosis.
2. Setelah melakukan pemotongan hewan,
perawatan hewan dan pemerahan susu sebaiknya cuci tangan dan membersihkan diri
agar steril dari kuman yang dapat menular ke tubuh kita.
3. Gunakan alat-alat keselamatan kerja
atau pelindung tubuh dari hewan saat merawat ataupun mengobati hewan yang
sedang sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo. 2009. Manual
standar diagnostik penyakit hewan.
Direktur jendral pertenakan dan
Japang International Cooperation Agency (JICA), Jakarta
Hardjopranjot. 1995. Ilmu
Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya
Murpraptomo, 1995. Fisiologi
Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung
Soejoedono R R. 2004. Zoonosis.
Laboratorium Kesmavet FKH IPB. Bogor
Subronto. 2003. Penyakit
Mastitis pada Kambing. UGM press. Yogyakarta.
Sutjipto. 1995.
Penanganan Penyakit Brucellosis pada Sapi. Erlangga. Jakarta
[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in
humans and animals. Geneva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar