Pt 13 Unitas

Pt 13 Unitas

Minggu, 20 November 2016

Makalah Inseminasi Buatan Pada Babi

MAKALAH INSEMINASI BUATAN PADA BABI
Mata Kuliah
BIOTEKNOLOGI TERNAK

Oleh:
Kelompok 5
Riana Pratisia                  1310005311031
Robi Firlyadi                   1310005311016
Serly yeni Saputri           1310005311008
Sismayenti                       1310005311049
Paul Kristovel                  1310005311033



Description: E:\tugas ika\71158_87416801916_3595781_n.jpg
Unitas Padang



JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TAMAN SISWA
2016

A.     Fisiologi Reproduksi Pada Babi Betina

Babi adalah ternak mamalia yang menghasilkan anak dalam jumlah besar sekaligus dengan interval generasi yang lebih singkat dari pada domba, sapi, kerbau atau kuda. Sifat-sifat tersebut membuat babi sebagai jenis ternak dengan potensi reproduksi yang tinggi untuk produksi ternak komersial (Toelihere, 1993).
Pubertas adalah periode saat organ-organ reproduksi babi pertama kali berfungsi dan menghasilkan telur atau sperma dewasa. Umur saat pubertas dicapai berlainan antara bangsa-bangsa ternak dan juga antara anak babi sekelahiran (Sihombing, 1997). Pubertas terjadi sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut dari folikel-folikel dan pembentukan hormon-hormon ovarial oleh folikel yang matang.
Seekor babi betina mencapai pubertas pada umur 5-8 bulan dan umur rata-rata yang dianjurkan untuk perkawinan pertama adalah 8-10 bulan (Toelihere, 1993). Babi betina yang berahi memperlihatkan suatu respon diam atau sikap kawin yang jelas apabila ditekan punggungnya oleh pejantan. Respon ini sangat bermanfaat dalam deteksi bukan saja permulaan birahi tetapi juga tingkatan birahi karena suatu sikap yang lebih tenang dan kaku diperlihatkan selama pertengahan periode berahi (Toelihere, 1993).
Siklus etrus berlangsung kira-kira 21 hari dan estrus sendiri berlangsung selama 3-5 hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Ada empat fase yang jelas dalam siklus berahi babi yaitu:
1.    Proestrus : terjadi sebelum estrus dan terjadi selama 3-4 hari
2.    Estrus : berlangsung selama 2-3 hari dan pada periode tersebut betina memiliki seksual reseptif terhadap pejantan. Periode ini biasanya lebih pendek pada babi dara dibandingkan babi induk. Pada saat estrus akan terjadi ovulasi.
3.    Metestrus: terjadi setelah ovulasi, corpus luteum terbentuk dalam setiap folikel yang pecah dalam waktu 6-8 hari.
4.    Diestrus: adalah waktu inaktivitas yang pendek yang ditandai oleh penghancuran corpus luteum setelah 14 hari dari puncak berahi. Dalam 3-4 hari serombongan folikel baru mulai berkembang dan siklus tadi akan terulang sendiri.
5.    Siklus estrus pada babi
6.    Birahi pada babi berlangsung 2 sampai 3 hari dengan variasi antara 1 sampai 4 hari. suatu batasan yang nyata antara permulaan dan akhir estrus sulit ditentukan karena estrus adalah suatu fenomena yang berlangsung gradual.
7.    Babi betina yang birahi memperlihatkan suatu respon diam atau sikap kawin yang jelas apabila ditekan punggungnya baik oleh pejantan, oleh betina lain atau penunggu ternak. Respon ini sangat bermanfaat dalam deteksi bukan saja permulaan birahi tetapi juga tingkatan birahi karena suatu sikap yang lebih tenang dan kaku diperlihatkan selama pertengahan periode birahi.
8.    Ovulasi terjadi selama estrus pada babi betina dan sebagian besar ova dilepaskan 38 sampai 42 jam sesudah permulaan estrus. Lama proses ovulasi adalah 3,8 jam. Ovulasi terjadi kira-kira 4 jam lebih cepat pada betina yang sudah dikawinkan dibandingkan dengan pada betina yang belum kawin.
9.    Siklus birahi pada babi mencapai 19 sampai 23 hari, rata-rata 21 hari, dan relatif konstan. Estrus terjadi sepanjang tahun. Corpora lutea bertumbuh sempurna dalam waktu 6-8 hari dan, kalau hewan tidak bunting, beregresi kembali pada hari ke 14 sampai ke-16 siklus birahi.

B.     Kesulitan Inseminasi Buatan Pada Ternak Babi
Kesulitan utama inseminasi buatan pada ternak babi ialah bahwa setiap betina harus diinseminasi dengan 50 sampai 100 ml semen encer, dan satu ejakulat hanya dapat dipakai untuk menginseminasi 10 sampai 25 betina. Disamping itu lama penyimpanan semen cair adalah singkat, hanya 24 sampai 48 jam. Pembekuan semen babi dan penggunaannya belum begitu gamblang dibandingkan pada sapi.


C.    Prosedur Pelaksanaan
Inseminasi Buatan pada babi terdiri dari beberapa tahap yakni persiapan pejantan, persiapan alat tampung, pelaksaan penampungan semen, pemeriksaan semen segar secaramakroskopis dan mikroskopis, pengenceran semen (penyiapan bahan pengencer dan pengenceran semen), evaluasi semen, pengolahan semen, pengepakan (packing), labeling,  serta yang terakhir adalah proses inseminasi itu sendiri.

1.       Persiapan Pejantan
Tahapan ini dimulai dengan mencatat nama pejantan yang akan ditampung semennya dalam buku catatan harian.
Selanjutnya pejantan tersebut dimandikan sampai bersih kemudian bulu didaerah prepotium dipotong agar tidak tertarik bersamaan saat melakukan rangsangan karena dapatmenimbulkan rasa sakit pada penis pejantan saat penampungan.

2.       Persiapan Alat Tampung
Beberapa peralatan yang disiapkan untuk proses penampungan adalah kain kasa, corong karet, gelas erlenmeyer 100 ml, gelas tampung yang terbuat dari pipa, gunting, dan karet.
Langkah kerja dari persiapan/pemasangan alat tampung ini yaitu:
a.        Siapkan alat dan bahan penampungan semen babi
b.        Tabung erlenmeyer di masukkan ke dalam gelas tampung kemudian ditutup dengan penutup gelas tampung dan dilanjutkan dengan memasukkan corong karet di atas gelas tamping
c.        Di atas corong karet dilapisi/ditempati dengan kain kasa yang berukuran ± 7 cm sebanyak 2 lembar yang berfungsi untuk menyaring sperma
d.        Apabiala kain kasa sudah terpasang maka kain tersebut diikat dengan karet yang sudah disiapkan agar tidak terlepas dari ikatan gelas tampung dan selanjutnya di masukkan ke dalam ruangan tampung lewat pintu khusus. 

3.      Pelaksanaan Penampungan Semen
Untuk mempermudah proses penampungan semen pada ternak babi maka harus menggunakan Dummy (Patung/boneka). Dalam proses penampungan, pejantan yang masih dalam proses pelatihan akan menggunakan dummy yang bisa dipindah-pindah sesuai kemauan pejantan,sedangkan pejantan yang sudah terlatih menggunakan Dummy yang otomatis (tidak bisa dipindah-pindah). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses penampungan semen adalah tidak boleh memakai cicin atau memiliki kuku yang panjang karena dapat mengakibatkan rasa sakit pada alat kelamin pejantan baik yang sudah terlatih maupun masih dalam proses dilatih. Hal penting lain dalam penampungan semen adalah memegang penis dengan kuat menggunakan 3 jari tangan agar tidak terlepas. Langkah kerja untuk penampungan semen babi adalah sebagai berikut:
a.        Ternak jantan digiring dari kandangnya ke ruangan penampungan semen
b.        Setelah ternak jantan dalam ruangan penampungan semen diarahkan atau dengan sendirinya menaiki Dummy
c.        Apabila pejantan lama menaiki Dummy, maka dilakukan rangsangan tubuh terutama pada daerah scrotum dan penisnya dengan cara massage sampai penisnya keluar.
d.        Penis yang keluar tersebut ditangkap dan ditarik secara perlahan-lahan
e.        Penis dipegang dengan kuat sehingga tidak terlepas dan pada waktu bersamaan dilakukanrangsangan pada ujung penis dengan menggunakan jari kelingking.
f.         Gelas tampung didekatkan pada ujung penis pada saat terjadi ereksi karena pada saat itu ternak akan tenang dan mengeluarkan semen.
g.        Selama proses penampungan cairan bening pertama yang keluar langsung dibuang karena tidak mengandung sperma dan apabila cairan sudah berwarna putih maka baru ditampung dalam gelas tamping
h.        Penampungan semen bisa berlangsung 7-10 menit dengan volume sperma yang dihasilkan 200-300 cc sekali ejakulasi.
i.         Semen yang telah ditampung dimasukkan ke dalam laboratorium melalui pintu khusus untuk dievaluasi dan diproses lebih lanjut. 

4.       Pemeriksaan Semen Dan Evaluasi Semen Segar
Setelah semen ditampung secepatnya di masukkan ke dalam laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan, baik secara  makroskopis maupun mikroskopis untuk selanjutnya dicatat dalam buku catatan harian.
a.       Evaluasi semen secara makroskopis
Semen yang datang dari ruang tampung dilihat  warna, bau semen, volume setelah itu dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk mengukur semen murni yang didapatkan kemudian dicatat dalam buku catatan harian untuk dievaluasi.
b.      Evaluasi semen secara mikroskopis
Pemeriksaan semen ternak babi secara mikroskopis yang dilakukan sama halnya dengan pemeriksaan semen beku sapi Bali yaitu dengan melihat gerakan massa dan motilitas/gerakan individu semen segar. Standar gerakan massa yang dapat diproses lebih lanjut adalah 2+ dan 3+ sedangkan penilaian motilitas serta konsentrasi semen untuk mengetahui berapa persen spermatozoa yang hidup dalam satu ml semen.  
Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyuningsih (2013) bahwa   penilaian  konsentrasi   sangat  penting  untuk  menentukan  jumlah  pengenceransemen danpenilaian motilitas yang merupakan  daya  gerak  individu  sperma  digunakan  sebagai  ukuran kesanggupan sperma untuk membuahi sel telur.
Cara menilai motilitas semen yang dilakukan adalah dengan mengambil satu tetes semen menggunakan pipet tetes kemudian ditempatkan diatas objek glass dan ditutup dengan cover glass lalu diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Semen yang dapat diproses lebih lanjutadalah yang memiliki persentase motilitas minimal 60%. Jika kurang dari 60% maka semen tersebut dibuang.
Semen segar yang dihasilkan dari penampungan dievaluasi terlebih dahulu pada laboratorium secara makroskopis (warna, bau, dan volume) dan mikroskopis (gerakan massa, dan motilitas serta konsentrasi). Menghitung konsentrasi semen segar menggunakan alat otomatis (Sperma Cue) dengan cara semen diambil dari dalam gelas ukur menggunaka spoid 3 ml lalu diteteskan kedalamcontrol cuvette. 

5.      Pengenceran Semen
Pengenceran semen merupakan salah satu cara untuk memperbanyak volume semen dan memperpanjang daya hidup spermatozoa. Tujuan pengenceran semen adalah sebagai penyedia nutrisi dan memberi perlindungan terhadap spermazoa. Rosmaidar, (2014) menyatakan bahwapengenceran semen  bertujuan  untuk menyediakan sumber energi bagi spermatozoa sehingga menjamin  kelangsungan  hidup  spermatozoa  selama penyimpanan  atau  pembekuan.
Sebelum melakukan pengenceran semen terlebih dahulu disiapkan bahan pengencer. Bahan pengencer yang dipakai di UPT BIBD Baturiti adalah bahan pengencer instan yaitu Bestvile Thawing Solution (BTS) yang ditambahkan dengan aquabides dengan perbandingan 1000 ml aquabidesberbanding 50 gram BTS.
Kandungan yang ada dalam BTS adalah sebagai beriukut: Glucosa 37,15 gram, Tri Sodium Citrate 1,25 gram,  Edta Disodium Salt 1,25 gram, Sodium Hidrogencarbonate 1,25 gram, Potassium Chloride 0,75 gram, Sodium Penicillin 0,60 gram, dan streptomycin sulphate 1 gram.
Langkah-langkah pembuatan pengecer antara lain:
a)        Air yang sudah disuling (aquabides) di masukkan ke dalam gelas erlenmeyer sebanyak 1000 mldan BTS ditimbang menggunakan alat timbang sebanyak 50 gram.
b)       BTS bersama air di masukkan ke dalam gelas erlenmeyer yang sudah disiapkan secara belahan-lahan kemudian ditutupi dengan aluminium foil
c)        Gelas elenmeyer yang sudah diisi dengan BTS dan aquabides digoyang-goyang secara berlahan hingga campuran tersebut secara merata.
d)       Setelah homogen, cairan tersebut dimasukkan ke dalam waterbath
e)        Thermometer dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer yang berisi larutan BTS selama 10-15 menit hungga mencapai suhu 37◦C.

Pengenceran semen dapat dilakukan apabila semen telah melewati pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dan memenuhui syarat yang sudah ditentukan.
Standar perbandingan motilitas, volume tampung dan pengencer semen ternak babi yang dipakai adalah:
Motilitas 60%              : 1:1
Motilitas 65%              : 1:2                       
Motilitas 70%              : 1:3 – 1:4                     
Contoh:
Volume tamping         : 250 cc
Motilitas                      : 65%

6.      Pengisian Semen
Pengisian semen merupakan salah satu tindakan yang dilakukan untuk menjaga kualitas semen sebelum digunakan. Tujuan pengisian semen dalam kemasan  adalah agar semen tersebut mudah dalam proses pendistribusian.  Pengisian semen dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan antara lain rak semen, alat packing, botol tube, tisu, dan kertas label. Selanjutnya dilakukan pengisian semen dengan cara semen di masukkan ke dalam botol-botol tubeyang berukuran 80 cc dan diletakkan sementara di dalam rak semen. Setelah proses pengisian selesai, botol tube diambil satu persatu untuk di press dengan terlebih dahulu membersihkan ujung botol tube dengan kain tisu. Botol tube di masukkan ke alat packing kemudian ditekan dengan kuat hingga daya rekatnya kuat. Proses ini diulangi 3 kali agar kuat dan tidak bocor.

7.      Labeling
Labeling semen diperlukan untuk mengetahui alamat kantor, jenis/bangsa, nama pejantan, tanggal dilaksanakan penampungan dan tanggal kedaluwarsaan, dan aturan pakai semen. Proses labeling dilakukan setelah pengisian semen ke dalam botol tube yang telah disediakan. Pelabelan dilakukan dengan cara menempel kertas label pada botol tube yang sudah dipress dan berisi sel spermatozoa kemudian botol tube yang telah diberi labeling siap dipasarkan. 

8.      Penyimpanan Semen
Semen yang belum dimanfaatkan pada hari prosesing harus disimpan pada ruangan yang bersuhu 10-20oC (dalam kulkas pada rak pintu bagian bawah pada posisi 0-1). Semen yang disimpan harus digoyangkan berlahan-lahan dua kali setiap hari (pagi dan sore hari) agar kualitasnya tidak menurun. Semen cair dengan bahan pengencer betsvile thawing solution (BTS) dapat disimpan selama 3 hari tanpa terjadi penurunan kualitas semen yang berarti. Jika dalam waktu 3 hari semen tersebut masih belum dipakai maka semen tersebut tidak dapat digunakan lagi.

9.       Proses Inseminasi
Sebelum inseminasi dilakukan, alat dan bahan seperti gunting, kateter, aquabides dan semen dipersiapkan. Bersihkan vulva babi betina dengan aquabides, ujung kateter dibasahi dengan aquabides, kemudian kateter dimasukkan secara perlahan-lahan kedalam alat kelamin betina yang diputar berlawanan dengan arah jarum jam. Setelah kateter masuk dan serviks telah terkunci, maka penutup bungkus semen digunting dan dimasukkan kedalam kateter. Kateter agak diangkat keatas supaya semen dapat mengalir kedalam alat kelamin betina. Proses inseminasi berlangsung selama satu hingga lima menit.


D.    Teknik Pelaksanaan
Cervix babi relatif panjang dan canalis cervicalis melekuk di bagian atasnya dan begitu sempit sehingga sukar untuk memasukkan alat inseminasi melaluinya tanpa merusak tenunan mucosa. Pada babi, cervix dan vagina seolah-olah bersambung membentuk satu saluran sehingga semen yang disemprotkan dapat keluar lagi kalau tidak dihalangi. Pada perkawinan alam hal ini dicegah oleh bahan-bahan gelatinous. Untuk inseminasi buatan, perlu dibuat suatu pipet khusus (buatan Norwegia) dari plastik dengan panjang 50 cm dan diameter 8 mm; kira-kira 2 cm dari ujung pipet dipasang suatu gelang (diameter 4 cm) yang dapat dikembangkan dengan memompakan hawa ke dalamnya. Apabila karet tersebut mengembang, ia menutup cervix dan menghalangi pengaliran semen kembali ke luar ke vagina selama inseminasi. Botol plastik 150 cc yang mengandung semen disambung ke pangkal pipet dengan sepotong slang karet. Pada waktu mengadakan inseminasi, pipet plastik sebaiknya dilicinkan dengan parafin encer dan dimasukan sejauh mungkin ke dalam cervix. Kemudian gelang pada ujung pipet tersebut dikembangkan dan semen di dalam botol plastik disemprotkan perlahan-lahan ke dalam cervix.
Sebagai alat inseminasi dapat pula dipakai sebuah slang karet yang agak tebal dan agak kaku (berukuran panjang kira-kira 1 sampai 1,5 cm), dengan ujung yang agak meruncing. Slan tersebut disambung dengan spuit besar (100 sampai 150 ml) yang mengandung semen encer. Sewaktu inseminasi, slang tersebut dimasukan sejauh mungkin ke dalam cervix dan seluruh semen yang ada di dalam spuit disemprotkan ke uterus. Bagian belakang babi betina diusahakan lebih tinggi daripada bagian depannya degan vulva dirapatkan atau ditutup dengan kapas untuk mencegah pengaliran keluar.
Melrose dan O’Hagan (1969) membuat suatu kateter inseminasi terdiri dari bahan karet yang agak kaku dan ujungnya berbentuk spiral sama seperti penis babi. Sewaktu inseminasi kateter karet tersebut dimasukkan ke dalam vagina dan diputar menurut arah jarum jam di dalam cervix sejauh mungkin. Kateter inseminasi ini tidak muda dilepaskan kembali. Ada pula kateteryang dibuat dari plastik (Aamdel & Hogset1957) tetapi apabila plastik tersebut terlalu kaku dapat berbahaya bagi babi betina. Semua kateter inseminasi harus dimasukkan ke arah dorso-cranial melalui vulva untuk mencegah masuk ke urethra.
Semua tabung untuk penyimpanan dan pengangkutan semen babi yang sudah diencerkan terdiri dari botol atau kantong plastik yang dapat ditautkan pada kateter inseminasi. Botol plastik tersebutdipijit dan dan semen encer dikeluarkan perlahan-lahan dalam waktu 3 sampai 5 menit ke dalam cervix dan uterus babi betina. Sesudah satu menit atau lebih semen akan masuk sendiri dengan cepat tanpa hambatan.







Daftar Pustaka


Toelihere, Mozes R. 1977. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa Bandung. Bandung.


Makalah Penyakit Pada Ternak


 PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA TERNAK



Description: G:\ \DANUUUUUUUUU\DOCUMEN DANU\lago tamsis\LOGO UNITAS.jpg



Oleh :
RIANA PRATISIA
13.1000.5311.031



PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TAMAN SISWA PADANG
TAHUN 2015



KATA PENGANTAR        

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah Penyakit Brucellosis Pada Ternak sebagai salah satu tugas mata kuliah Kesehatan Ternak yang diberikan oleh dosen pada semester 5 Tujuan membuat makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit brucellosis pada ternak.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Makalah Kesehatan Ternak ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
 Penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

  
Padang, Oktober 2015

                                                                                                                                                                                                                                                                 Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari segi kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus brucellosis sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain itu, seringnya mutasi sapi perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kasus brucellosis di Indonesia. Oleh sebab itu , penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar 5 penyakit menular yang menjadi prioritas utama dalam pengendalian dan pemberantasannya secara nasional sejak tahun 1959 (Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No. 59/KPTS/PD610/05/2007).
Brucellosis adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella. Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia, menimbulkan kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya produksi susu pada sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam sehingga dikenal juga sebagai Undulant fever, Malta fever, Gibraltar fever, atau Mediteranean fever, dimana ketiga sebutan terakhir merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh konsumsi susu kambing di daerah Laut Tengah.
Brucellosis dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di seluruh dunia terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Brucellosis tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih terbebas karena adanya larangan memasukkan sapi jenis lain, berkaitan kebijaksanaan pemerintah untuk memurnikan sapi Bali.
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak. Dengan infeksi yang tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya populasi dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus brucellosis.
Brucellosis dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovis pada domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canis pada anjing. Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada hewan bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9.
Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan fetus dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen. Pada manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B. canis. Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang menginfeksi. Penularan brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau melalui konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang termasuk dalam genus Brucella. Penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar, dan di Indonesia penyakit tersebut pada sapi dimasukkan dalam daftar penyakit menular yang harus dicegah dan diberantas sejak tahun 1959 Pencegahan Brucellosis pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi, vaksin anak sapi umur 3-6 bulan dengan vaksin Brucella Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya, kemudian fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfeksi sejenis. Metode pengendalian lainnya uji serologik secara teratur dengan MRT, RBT, dan CFT. Pada umumnya prinsip pengendalian Brucellosis adalah metode test and slaughter (uji dan potong) menjadi cara terakhir dalam program pemberantasan (Subronto, 2003).
Penyebab Brucellosis pada sapi perah disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Manusia yang terinfeksi umumnya disebabkan minum susu sapi penderita yang tidak dimasak sempurna, menangani saat sapi melahirkan, mengambil plasenta yang tertinggal, cairan vagina, dan kulit yang luka. Adanya kerugian ekonomi akibat Brucellosis disebabkan oleh penurunan permintaan pasar, penurunan produksi susu, kehilangan foetus, timbulnya kemajiran, pedet yang lemah, timbulnya penyakit pada manusia, dan biaya pengendalian dan pemberantasan penyakit (Hardjopranjoto, 1995).
Penularan brucellosis dapat terjadi dari pejantan yang terinfeksi brucellosis kepada induk betina melalui kawin alami atau juga dapat melalui proses inseminasi buatan dilakukan lewat intra uterin dengan sperma yang mengandung brucellosis. Selain itu, penularan terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan yang tercemar seperti kandang, peralatan, air, dan rumput. Penularan penyakit brucellosis juga dapat terjadi melalui susu induk terinfeksi yang diminum oleh pedet sapi, namun tingkat kejadian penyakit melalui susu tersebut masih sangat kecil sekali. Hampir semua hewan peka terhadap brucellosis. Meskipun tidak ada induk semang spesifik pada penyakit ini, namun masing-masing spesies bakteri memiliki kecenderungan untuk menginfeksi satu induk semang tertentu, misalnya Brucella abortus menyerang sapi, Br. melitensis pada kambing, biri-biri, dan kuda, Br. suis pada babi dan Br. canis pada anjing, akan tetapi tidak hilang kemungkinan bahwa anjing dapat terserang Br. abortus, Br. suis atau Br. melitensis dan begitu juga dengan hewan-hewan lain       (Soejoedono 2004).
Pada manusia, penularan terjadi karena memakan atau meminum bahan yang terkontaminasi bakteri Brucella atau kontak langsung dengan plasenta, fetus, cairan atau organ reproduksi sapi melalui luka di kulit. Orang-orang yang berprofesi tertentu seperti dokter hewan, inseminator, mantri hewan, petugas rumah pemotongan hewan, pemerah susu dan petugas laboratorium beresiko tinggi tertular brucellosis. Infeksi B. canis terbatas terjadi pada pekerja yang merawat anjing (WHO 2006).
Permulaan infeksi Brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria. Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak terdapat pada vili khorion, karena terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi placenta disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa (Murpraptomo, 1995).

Penularan Brucellosis ini paling banyak melalui pakan yang tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang terinfeksi. Penularan bakteri Brucela abortus ini melalui jilatan dari sapi, selain itu bakteri tersebut dapat memasuki tubuh melalui gesekan kulit yang luka. Penularan dari pejantan yang terinfeksi Brucellosis pada induk betina dapat terjadi melalui kawin alami atau Inseminasi Buatan dilakukan lewat intra uterin dengan sperma yang mengandung Brucella abortus. Penularan penyakit Brucellosis pada pedet juga dapat terjadi melalui susu induk yang diminum oleh pedet sapi. Penularan kepada manusia dapat terjadi melalui saluran pencernaan, misal minum susu yang tidak dimasak yang berasal dari ternak penderita Brucellosis. Penularan melalui selaput lendir atau kulit yang luka, misal kontak langsung dengan janin atau placenta (ari-ari) dari sapi penderita Brucellosis dapat juga menyebabkan penularan Brucellosis pada manusia (Budiharjo, 2009).
Brucella adalah bakteri intraselluler, karena itu terlindung dari daya pertahanan tubuh sapi dan aktivitas antibiotika. Pada hakekatnya tidak ada obat yang baik untuk pengobatan Brucellosis, apabila penyakitnya sudah kronis. Disamping itu pengobatan penyakit Brucellosis yang sudah kronis membutuhkan waktu lama dan dosis besar. Oleh karena itu pengobatan ini dipandang tidak ekonomis. Pencegahan penyakit lebih diutamakan dari pada pengobatan. Pengobatan yang efektif dapat dilakukan dengan antibiotika seperti kombinasi penisilin dan streptomisin (Sutjipto, 1995).



BAB III.
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Penyakit Brucellosis.
Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella. Secara morfologi, kuman Brucella bersifat Gram negatif, tidak berspora, berbentuk cocobasillus (batang pendek) dengan panjang 0,6 - 1,5 μm, tidak berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Dalam media biakan, koloni kuman Brucella berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaannya cembung dan licin, mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1-2 mm. Pada pengecatan Gram, kuman terlihat sendiri-sendiri (tidak berkoloni), berpasangan atau membentuk rantai pendek.
Secara biokimia, kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan temperatur 20-40°C dengan penambahan karbondioksida (C02) 5-10%. Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari. Kuman Brucella juga dapat bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.
Klasifikasi kuman Brucella :
           Kingdom          : Bacteria
           Filum                : Proteobacteria
           Class                 : Alphaproteobacteria
           Ordo                 : Rhizobiales
           Famili               : Brucellaceae
           Genus               : Brucella
           Spesies             : Brucella Abortus, brucella melitensis, brucella canis
Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Brucellosis di Indonesia dikenal sebagai penyakit reproduksi menular pada ternak, tetapi sebagai penyakit menular pada manusia, penyakit ini belum banyak dikenal di masyarakat. Hewan yang terinfeksi kuman Brucella dapat mengalami abortus, retensi plasenta, orchitis dan epididinitis serta dapat mengekskresikan kuman ke dalam uterus dan susu. Penularan penyakit ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka. Berat ringan penyakit tergantung strain Brucella yang menginfeksi. Brucella abortus, B. melitensis, B. suis dan B. canis adalah strain yang patogen ke manusia. Gejala klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia, myalgia dan turunnya berat badan. Komplikasi penyakit dapat terjadi berupa arthritis, endokarditis, hepatitis granulona, meningitis, orchitis dan osteomyelitis serta dilaporkan dapat pula mengakibatkan abortus pada wanita hamil. Diagnosis brucellosis dilakukan dengan isolasi brucella spesies dalam darah dan urin serta uji serologis. Pengobatan antibiotika dapat diberikan pada orang yang terinfeksi tetapi memerlukan waktu lama. Kontrol brucellosis pada manusia dapat dilakukan dengan pengendalian brucellosis pada hewan melalui program eradikasi yang komprehensif berupa program vaksinasi yang diikuti dengan eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis.

B.     Gejala yang Muncul pada Penyakit Brucellosis.
Gejala klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau dimasyarakat dan peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang diaborsikan terlihat oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran dari vagina. Penyakit brucellosis ini juga menyebabkan perubahan didalam ambing. Lebih dari setengah dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya tinggi menunjukkan presentasi yang tinggi didalam ambingnya. Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan lesi higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma akibat adanya suatu trauma kemudian kuman brucella yang berada didalam darah membentuk koloni di daerah persendian tersebut.
Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada buah pelir dan kelenjar kelamin tambahan. Sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin mengandung bakteri brucella abortus.

C.    Penularan Brucellosis pada hewan ke manusia
1.      Sapi 
Gejala klinik yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut (7-8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih membawa kuman Brucella Abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma yaitu pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening atau fibrinopurulen.
2.       Babi 
Menimbulkan arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-kadang ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis discus intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi kuman Brucella suis tidak ditemukan pada semen atau urine. Dibandingkan dengan sapi, kejadian abortus relatif jarang terjadi pada babi.
3.      Anjing 
Bakteri Brucella canis merupakan penyebab utama sterilitas pada pejantan dan abortus pada induk, terutama terjadi di kennel (pembiak) anjing di Amerika. Anjing yang menderita brucellosis akut mengalami kebengkaan kelenjar limfe prefemuralis dan submandibularis. Pada anjing jantan brucellosis menyebabkan orchitis sehingga testis terlihat membengkak beberapa lama kemudian diikuti atropi, testis terlihat mengecil karena sel pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan.
4.      Domba dan Kuda
Terlihat adanya epididimitis, bursitis dan spondilitis.
5.      Manusia
Brucellosis bersifat zoonosis, jika bakteri ini terjangkit pada manusia biasanya disebabkan oleh kontak langsung dengan organ-organ alat genital atau cairan abortusan. Dan akan menimbulkan gejala seperti demam, berkeringat, obstipasi, nyeri rematik, bengkak persendian dan orchitis.


 
Table 1. Reservoar alami spesies Brucella dan penyebaran penyakit secara  geografis pada manusia
Organisme
Hewan reservoar
Daerah penyebaran brucellosis
B. melitensis
Kambing, domba dan unta
Mediteranean, Asia dan Amerika Latin
B. abortus
Sapi, kerbau, unta dan yaks
Seluruh dunia, kecuali Jefiang, Israel dan beberapa negara Eropa bebas
B. suis
Babi
Amerika Selatan, Asia Tenggara dan Amerika Serikat Barat bagian Tengah
B. canis
Anjing
Kosmopolitan
Sumber: Lisgaris dan salata (2005)
Tabel 2 . Beberapa kejadian brucellosis pada manusia di beberapa negara

Negara
Kasus Brucellosis
Sumber
Jepang
5 pekerja kebun binatang (2001)
ARON (1998)
Meksiko
6500 kasus (1998)
ARON (1998)
Saudi Arabia
73 kasus (1990)
GAAFAR (1998)
Saudi Arabia
1,3/1000 wanita hamil
YOUSUF KHAN (2001)
USA
100 kasus/tahun (10 tahun terakhir)
JOHN dan NALIA (2002)
Kuwait
128 kasus/100.000 orang
BRUCELLOSIS FACT SHEET (2003)
India
59,7% anak/5726 anak (2004)
MANTUR et al . (2004)
Kashmir
0,8%/3532 orang
KADRI et al. (2000)
Yordan
20 - 26/100 .000 orang
AL-ANI et al. (2004)
California
462 kasus (1973 - 1992)
GOFFREY et al . (2002)



D.    Pencehagan dan Pengobatan Penyakit Brucellosis
Pencegahan brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memperhatikan lalu lintas ternak untuk daerah yang bebas. Pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi, vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya. Fetus dan placenta yang abortusan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis. Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena dapat menyebabkan brucellosis atau demam unggulan pada manusia. Metode pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak, uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor.

E.     Pengobatan.
Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup efektif.  Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di dalam sel. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin dan rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan anak di atas umur 8 tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 - 8 minggu, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan spondilitis direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin) selama 2 - 3 minggu kemudian diikuti dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6 minggu.
Brucellosis dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan pengobatan dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan, brucellosis dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan kombinasi aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu diikuti sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis antibiotika selama 8 - 12 minggu. Pada wanita hamil penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah kombinasi TMP-SMX. Percobaan telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin adalah obat yang aman untuk digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang menderita brucellosis.

F.     Distribusi Penyakit dan Reservoir
1.      Distribusi Penyakit
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara Mediteran, Eropa, Afrika Timur, negara-negara timur Tengah, India, Asia Tengah, Meksiko dan Amerika Selatan. Sumber infeksi dan organisme, penyebab penyakit bervariasi tergantung letak geografis. Brucelosis terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringannya, seperti petani, dokter hewan dan pekerja di tempat pemotongan hewan. Penyakit ini banyak menyerang laki-laki. Kasus-kasus sporadis dan KLB terjadi pada orang yang mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (terutama keju lunak yang tidak dipasturisasi) dari sapi, domba dan kambing. Kasus-kasus infeksi B. canis terbatas terjadi pada pekerja yang merawat anjing. Penderita yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia, penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak dilaporkan.
2.      Reservoir
Sapi, babi, kambing dan domba bertindak sebagai reservoir. Infeksi bisa terjadi pada bison, rusa besar, karibu dan beberapa spesies dari rusa. B. canis kadang-kadang menjadi masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian kecil anjing peliharaan dan sebagian besar anjing liar terbukti mempunyai titer antibody terhadap B. canis. Anjing hutan juga terbukti telah terinfeksi.


BAB IV
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia.
2.      Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.
3.      Penularan penyakit ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka.
4.      Gejala klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia, myalgia dan turunnya berat badan.
5.      Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula.
6.      Penyakit brucellosis di Indonesia dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
7.      Brucella mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovis pada domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canis pada anjing.

B.     Saran
1.      Sebaiknya bila meminum susu, memakan daging pastikan susu yang akan diminum sudah di pasterurisasi dan daging yang terbebas dari virus brucellosis.
2.      Setelah melakukan pemotongan hewan, perawatan hewan dan pemerahan susu sebaiknya cuci tangan dan membersihkan diri agar steril dari kuman yang dapat menular ke tubuh kita.
3.      Gunakan alat-alat keselamatan kerja atau pelindung tubuh dari hewan saat merawat ataupun mengobati hewan yang sedang sakit.


DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo. 2009. Manual standar diagnostik penyakit hewan. Direktur  jendral pertenakan      dan  Japang International Cooperation Agency (JICA), Jakarta
Hardjopranjot. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya
Murpraptomo, 1995. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung
Soejoedono R R. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet FKH IPB. Bogor
Subronto. 2003. Penyakit Mastitis pada Kambing. UGM press. Yogyakarta.
Sutjipto. 1995. Penanganan Penyakit Brucellosis pada Sapi. Erlangga. Jakarta
[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in humans and animals. Geneva